Follow us

Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Oleh Masyarakat Pesisir



Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terbesar dan memiliki kekayaan hayati yang paling banyak. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindentifikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. (DepHut,2003).

Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut didaerah pasang surut, hutan mangrove atau yang sering disebut hutan bakau merupakan sebagian wilayah ekosistem pantai yang mempunyai karakter unik dan khas dan memiliki potensi kekayaan hayati. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Tanpa kita sadari Hutan Mangrove memiliki banyak manfaat secara langsung dan tidak langsung yg sangat bermanfaat bagi kita dan bisa menjadi sumberdaya alam suatu saat nanti.

            Hutan mangrove disepanjang Pantai Timur Surabaya diambang kepunahan. Terancamnya keberadaan hutan mangrove disebabkan adanya desakan kepentingan pengembangan kawasan industri, pemukiman dan budaya perikanan payau. Hal ini dipicu oleh belum ditetapkannya Rencana Tata Ruang Wilayah Regional Pesisir Pantai (Kompas, 2004).Hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya "GREEN BELT" (Sabuk Hijau) disepanjang Pantai Utara dan Timur Surabaya. Berdasarkan Ketetapan Pemerintah tentang Ekosistem Pantai tentang sabuk hijau yaitu berjarak 400 meter dari garis pantai dan 10 meter dari muara sungai. Kenyataan yang ada disepanjang Pantai Timur dan Utara Surabaya tidak ditemui adanya sabuk hijau sepanjang itu, hanya 10 - 20 meter dari garis pantai bahkan pada muara sungai hampir tidak ditemukan mangrove. Berdasarkan permasalahan yang ada diperlukan suatu solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut. Peran serta masyarakat, pemerintah dan pendidikan sangat diperlukan. Potensi yang ada didalam ekosistem hutan mangrove sangat banyak yang dapat digali. Salah satu hal yang dapat dikembangkan yaitu merehabilitasi hutan mangrove melalui konsep pendidikan wisata pedidikan.

Semuanya hanya bertujuan untuk pelestrian lingkungan terhadap hutan mangrove yang banyak sekali manfaat dan kegunaannya dan dapat memberikan masukan tambahan pendapatan daerah apabila tempat tersebut sukses menjadi kawasan wisata mangrove. Bagi kegiatan ekonomi, mata pencaharian penduduk akan bertambah sehingga meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat pesisir, dan tidaklah mustahil bila mereka akan berganti profesi dari menjadi petani tambak udang yang selama ini terus membuka lahan mangrove untuk tambak menjadi penyedia jasa pariwisata mangrove di kawasan hutan mangrove pantai pesisir Surabaya Timur.


Gambar Peta Sebaran Mangrove di Indonesia

            Hutan mangrove, dalam skala ekologis merupakan ekosistem yang sangat penting, terutama karena daya dukungnya bagi stabilitas ekosistem kawasan pesisir. Kestabilan ekosistem mangrove akan mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap kelestarian wilayah pesisir. Mangrove sebagai ekosistem hutan, memiliki sifat dan ciri yang sangat khas, tumbuh pada pantai berlumpur dan muara sungai. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi dan kondisi tanah yang kurang stabil. Karena kondisi lingkungan tersebut, beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan, dan yang lainnya mengembangkan sistem akar napas untuk membantu penyerapan oksigen bagi sistem perakarannya. Bentuk-bentuk perakaran yang khas ini seringkali juga dapat membedakan jenis-jenis vegetasi mangrove. Bentuk perakarannya dapat dibedakan menjadi akar udara, akar banir/papan, akar lutut, akar napas, dan akar tunjang. Bentuk perakaran ini selain sangat efektif dalam mempertahankan stabilitas lumpur dan pantai, menyerap pollutant, juga mampu menahan penyusupan air laut ke daratan. Kemampuan adaptasi lainnya adalah bahwa beberapa jenis mangrove berkembang dengan buah yang berkecambah di pohon induknya (vivipar), seperti Kandelia, Bruguiera, Ceriops dan Rhizophora.

            Banyak diantara warga masyarakat yang pada akhirnya sadar dan mau untuk menanam mangrove, terutama jika mereka merasakan ada kaitannya dengan hasil ikan yang mereka dapatkan, ataupun manfaat lainnya. Misalnya, masyarakat Sinjai, Sulawesi Selatan, telah berhasil menanam dan memelihara mangrove, setelah terbukti ada kaitan antara kelestarian mangrove dengan hasil tangkapan ikan mereka. Masyarakat Desa Eretan Wetan, Indramayu, mulai mau menanam mangrove setelah lahannya banyak tergerus oleh gelombang, karena mereka percaya bahwa mangrove dapat menahan gempuran gelombang laut. Masyarakat Jakarta mau menanam mangrove di Suaka Margasatwa Angke Kapuk, karena yakin akan fungsinya sebagai stabilitas iklim mikro. Oleh karena itu, selain bertujuan untuk mengurangi bahaya tsunami, penanaman mangrove juga tetap harus dikaitkan dengan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakatnya

Potensi penyimpanan karbon pada substrat lumpur mangrove sangatlah besar. Oleh karena itu estimasi penyimpanan karbon pada substrat lumpur mangrove dapat dijadikan acuan dasar dalam penilaian manfaat ekonomis mangrove dalam bentuk komoditi jasa lingkungan CSequestration. Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan cocok untuk penyerapan dan penyimpanan karbon. Selain melindungi daerah pesisir dari abrasi, tanaman mangrove mampu menyerap emisi yang terlepas dari lautan dan udara. Penyerapan emisi gas buang menjadi maksimal karena mangrove memiliki sistem akar napas dan keunikan struktur tumbuhan pantai. Unsur karbon menjadi penting dalam kehidupan manusia, dalam keseharian setiap kali proses pernapasan, manusia menyumbang pelepasan karbon di alam dalam bentuk karbondioksida (CO2), penebangan pohon, pembakaran, aktivitas industri dan kendaraan bermotor juga menyumbang pelepasan karbon di alam

            Ruang lingkup konservasi hutan mangrove meliputi usaha perlindungan, pelestarian alam dalam bentuk penyisihan areal sebagai kawasan suaka alam baik untuk perairan laut, pesisir dan hutan mangrove. Harus ada nya edukasi yang gencar pada masyarakat khusus nya di sekitar pesisir akan manfaat dan pentingnya keberlanjutan nya untuk di masa depan.

 

 

SUMBER REFERENSI

Wijayanti, T. (2007). Konservasi hutan mangrove sebagai wisata pendidikan. Surabaya: Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Pembangunan Nasional" Veteran"Jawa Timur.

Karminarsih, E. (2007). Pemanfaatan ekosistem mangrove bagi minimasi dampak bencana di wilayah pesisir. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 13(3), 182-187.

Sabana, C. (2015). Kajian Pengembangan Produks Makanan Olahan Mangrove. Jurnal Ekonomi   Dan Bisnis, 14(1), 40-46.   

Mardhia, D., Firdaus, R., Saputra, A., Asriyanti, F., & Pratama, D. A. (2019). Pemanfaatan Achantus ilicifolius sebagai Produk Olahan Teh dalam Rangka Melestarikan Mangrove  di Desa Labuhan Sumbawa. Abdi Insani, 6(3), 348-358.

Purnobasuki, H. (2012). Pemanfaatan hutan mangrove sebagai penyimpan karbon. Buletin PSL    Universitas Surabaya, 28(3-5), 1-6.