Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Oleh Masyarakat Pesisir
- Jeki Anderson
- 20 Feb 2021
Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terbesar dan memiliki
kekayaan hayati yang paling banyak. Luas ekosistem mangrove di Indonesia
mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas
mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki
keragaman jenis yang yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia
terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran
mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982
menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta
hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindentifikasikan
bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu
hektar/tahun. (DepHut,2003).
Mangrove
adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang
membentuk komunitas tersebut didaerah pasang surut, hutan mangrove atau yang
sering disebut hutan bakau merupakan sebagian wilayah ekosistem pantai yang
mempunyai karakter unik dan khas dan memiliki potensi kekayaan hayati.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan
abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Tanpa kita
sadari Hutan Mangrove memiliki banyak manfaat secara langsung dan tidak
langsung yg sangat bermanfaat bagi kita dan bisa menjadi sumberdaya alam suatu
saat nanti.
Hutan mangrove disepanjang Pantai
Timur Surabaya diambang kepunahan. Terancamnya keberadaan hutan mangrove
disebabkan adanya desakan kepentingan pengembangan kawasan industri, pemukiman
dan budaya perikanan payau. Hal ini dipicu oleh belum ditetapkannya Rencana
Tata Ruang Wilayah Regional Pesisir Pantai (Kompas, 2004).Hal ini dapat dilihat
dengan tidak adanya "GREEN BELT" (Sabuk Hijau) disepanjang Pantai
Utara dan Timur Surabaya. Berdasarkan Ketetapan Pemerintah tentang Ekosistem
Pantai tentang sabuk hijau yaitu berjarak 400 meter dari garis pantai dan 10
meter dari muara sungai. Kenyataan yang ada disepanjang Pantai Timur dan Utara
Surabaya tidak ditemui adanya sabuk hijau sepanjang itu, hanya 10 - 20 meter
dari garis pantai bahkan pada muara sungai hampir tidak ditemukan mangrove. Berdasarkan
permasalahan yang ada diperlukan suatu solusi untuk memecahkan permasalahan
tersebut. Peran serta masyarakat, pemerintah dan pendidikan sangat diperlukan.
Potensi yang ada didalam ekosistem hutan mangrove sangat banyak yang dapat
digali. Salah satu hal yang dapat dikembangkan yaitu merehabilitasi hutan
mangrove melalui konsep pendidikan wisata pedidikan.
Semuanya hanya bertujuan untuk pelestrian lingkungan terhadap hutan mangrove yang banyak sekali manfaat dan kegunaannya dan dapat memberikan masukan tambahan pendapatan daerah apabila tempat tersebut sukses menjadi kawasan wisata mangrove. Bagi kegiatan ekonomi, mata pencaharian penduduk akan bertambah sehingga meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat pesisir, dan tidaklah mustahil bila mereka akan berganti profesi dari menjadi petani tambak udang yang selama ini terus membuka lahan mangrove untuk tambak menjadi penyedia jasa pariwisata mangrove di kawasan hutan mangrove pantai pesisir Surabaya Timur.
Gambar Peta Sebaran Mangrove di Indonesia
Hutan mangrove, dalam skala ekologis
merupakan ekosistem yang sangat penting, terutama karena daya dukungnya bagi
stabilitas ekosistem kawasan pesisir. Kestabilan ekosistem mangrove akan
mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap kelestarian wilayah pesisir.
Mangrove sebagai ekosistem hutan, memiliki sifat dan ciri yang sangat khas,
tumbuh pada pantai berlumpur dan muara sungai. Tumbuhan mangrove memiliki
kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim,
seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi dan kondisi tanah
yang kurang stabil. Karena kondisi lingkungan tersebut, beberapa jenis mangrove
mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari
jaringan, dan yang lainnya mengembangkan sistem akar napas untuk membantu
penyerapan oksigen bagi sistem perakarannya. Bentuk-bentuk perakaran yang khas
ini seringkali juga dapat membedakan jenis-jenis vegetasi mangrove. Bentuk
perakarannya dapat dibedakan menjadi akar udara, akar banir/papan, akar lutut,
akar napas, dan akar tunjang. Bentuk perakaran ini selain sangat efektif dalam
mempertahankan stabilitas lumpur dan pantai, menyerap pollutant, juga mampu
menahan penyusupan air laut ke daratan. Kemampuan adaptasi lainnya adalah bahwa
beberapa jenis mangrove berkembang dengan buah yang berkecambah di pohon
induknya (vivipar), seperti Kandelia,
Bruguiera, Ceriops dan Rhizophora.
Banyak diantara warga masyarakat
yang pada akhirnya sadar dan mau untuk menanam mangrove, terutama jika mereka
merasakan ada kaitannya dengan hasil ikan yang mereka dapatkan, ataupun manfaat
lainnya. Misalnya, masyarakat Sinjai, Sulawesi Selatan, telah berhasil menanam
dan memelihara mangrove, setelah terbukti ada kaitan antara kelestarian
mangrove dengan hasil tangkapan ikan mereka. Masyarakat Desa Eretan Wetan,
Indramayu, mulai mau menanam mangrove setelah lahannya banyak tergerus oleh
gelombang, karena mereka percaya bahwa mangrove dapat menahan gempuran
gelombang laut. Masyarakat Jakarta mau menanam mangrove di Suaka Margasatwa
Angke Kapuk, karena yakin akan fungsinya sebagai stabilitas iklim mikro. Oleh
karena itu, selain bertujuan untuk mengurangi bahaya tsunami, penanaman
mangrove juga tetap harus dikaitkan dengan manfaat sosial dan ekonomi bagi
masyarakatnya
Potensi
penyimpanan karbon pada substrat lumpur mangrove sangatlah besar. Oleh karena
itu estimasi penyimpanan karbon pada substrat lumpur mangrove dapat dijadikan
acuan dasar dalam penilaian manfaat ekonomis mangrove dalam bentuk komoditi
jasa lingkungan CSequestration. Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan cocok
untuk penyerapan dan penyimpanan karbon. Selain melindungi daerah pesisir dari
abrasi, tanaman mangrove mampu menyerap emisi yang terlepas dari lautan dan
udara. Penyerapan emisi gas buang menjadi maksimal karena mangrove memiliki
sistem akar napas dan keunikan struktur tumbuhan pantai. Unsur karbon menjadi
penting dalam kehidupan manusia, dalam keseharian setiap kali proses
pernapasan, manusia menyumbang pelepasan karbon di alam dalam bentuk karbondioksida
(CO2), penebangan pohon, pembakaran, aktivitas industri dan kendaraan bermotor
juga menyumbang pelepasan karbon di alam
Ruang lingkup konservasi hutan
mangrove meliputi usaha perlindungan, pelestarian alam dalam bentuk penyisihan
areal sebagai kawasan suaka alam baik untuk perairan laut, pesisir dan hutan
mangrove. Harus ada nya edukasi yang gencar pada masyarakat khusus nya di
sekitar pesisir akan manfaat dan pentingnya keberlanjutan nya untuk di masa
depan.
SUMBER REFERENSI
Wijayanti, T.
(2007). Konservasi hutan mangrove sebagai wisata pendidikan. Surabaya:
Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Pembangunan
Nasional" Veteran"Jawa
Timur.
Karminarsih, E.
(2007). Pemanfaatan ekosistem mangrove bagi minimasi dampak bencana di wilayah pesisir. Jurnal Manajemen
Hutan Tropika, 13(3), 182-187.
Sabana, C.
(2015). Kajian Pengembangan Produks Makanan Olahan Mangrove. Jurnal
Ekonomi Dan Bisnis, 14(1), 40-46.
Mardhia, D.,
Firdaus, R., Saputra, A., Asriyanti, F., & Pratama, D. A. (2019).
Pemanfaatan Achantus ilicifolius
sebagai Produk Olahan Teh dalam Rangka Melestarikan Mangrove di Desa Labuhan Sumbawa. Abdi
Insani, 6(3), 348-358.
Purnobasuki, H.
(2012). Pemanfaatan hutan mangrove sebagai penyimpan karbon. Buletin PSL Universitas Surabaya, 28(3-5), 1-6.