Pemanasan Global Mengancam Ekosistem Pesisir dan Laut
- Melynda Dwi Puspita
- 08 Feb 2021
Isu terkait pemanasan
global (global warming) begitu gencar
disuarakan oleh berbagai kalangan. Fenomena perubahan iklim berhubungan
langsung dengan pemanasan global. Peristiwa ini ditandai dengan adanya
peningkatan temperatur bumi karena gas rumah kaca (greenhouse effect). Gas rumah kaca ini
memiliki sifat seperti kaca yang menangkap energi panas di atmosfer.
Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), selama abad ke-20, telah terjadi kenaikan suhu muka bumi sebesar 0,5oC. Dan diperkirakan pada tahun 2100 akan terus meningkat mencapai 1,5oC-5,8oC. Mencairnya es di kutub pada akhirnya menyebabkan kenaikan permukaan air laut (sea level rise). Lebih lanjut lagi akan berdampak kepada penurunan kadar salinitas dan berbagai gejala yang mengancam keberlanjutan pesisir dan laut.
Menggerus Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Penyusutan es di Greenland berdampak terhadap naiknya tinggi permukaan air laut. Apabila pada abad ke-22, rata-rata pemanasan global sebesar 1,9oC - 4,6oC berlangsung selama 10 abad. Maka lapisan es akan hilang dan menyebabkan peningkatan muka laut mencapai 7 m. Sehingga berpotensi menenggelamkan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih jelasnya bahwa tingginya permukaan air laut meningkatkan abrasi pantai, peningkatan salinitas estuaria serta perubahan pasang-surut sungai dan teluk.
Sebagai negara
kepulauan,
sudah barang tentu jika Indonesia juga akan berpotensi kehilangan
banyak pulau. Hasil simulasi peneliti dari Institut Teknologi
Bandung menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya terdapat 115 pulau yang tersebar
dari
kepulauan Riau, Jawa, Sulawesi dan Maluku akan
tenggelam pada tahun 2100.
Dampak Terhadap Fitoplankton
Fitoplankton berperan sebagai penyerap CO2 dari atmosfer dan kolom perairan (biological carbon pump). Hal ini tidak lain disebabkan
oleh kemampuannya melakukan fotosintesis. Diperkirakan bahwa fitoplankton laut dapat menyerap karbon mencapai 40-50 miliar ton/tahun. Ia juga berfungsi dalam menjaga keseimbangan
panas dan pengendali
iklim bumi.
Menipisnya 16% lapisan ozon telah mengakibatkan terhambatnya proses pertumbuhan fitoplankton hingga mencapai 6%-12%. Dilain sisi, penurunan drastis populasi fitoplankton akan berbanding lurus dengan laju fotosintesis. Peranan fitoplankton sebagai organisme tingkat pertama (produsen) juga berpotensi terhadap jumlah kelimpahan biota laut tingkat selanjutnya.
Terumbu Karang Merana
Terumbu karang merupakan komunitas laut dangkal yang berkembang optimal
pada temperatur berkisar antara 25°C - 29°C. Kenaikan suhu sebesar 1oC
saja, polip karang mengalami stress dan menyebabkan alga zooxanthellae
terlepas yang dikenal sebagai pemutihan karang (coral bleaching).
Zooxanthellae bersimbiosis dengan
hewan karang untuk berfotosintesis.
Peristiwa coral bleaching disebabkan oleh beberapa hal seperti peningkatan laju produksi kapur CaCO3 (kalsifikasi), temperatur perairan laut melebihi batas optimum dan tingginya intensitas sinar UV. Tanda-tanda tersebut berkorelasi dengan perubahan iklim. Di Indonesia sendiri, telah tercatat kasus coral bleaching sebesar 30 % hingga akhir 1990.
Menyerang Kehidupan Biota Laut Lainnya
Radiasi berlebihan
sinar ultraviolet terutama UV-B dapat menyebabkan rekombinasi gen
sehingga menghambat pertumbuhan biota laut. Selain
itu, dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh hewan laut, kerusakan jaringan tubuh dan menurunkan
daya tetas telur. Terjadinya perubahan arah distribusi
habitat beberapa jenis mamalia laut dan peningkatan kerentanan terjangkit virus dan kuman
penyakit.
Diketahui bahwa pemanasan global berpengaruh pada pembentukan cangkang avertebrata laut. Menghambat proses penyerapan unsur hara pada alga yang menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas kandungan produk alga seperti agar dan karagenan. Sehingga dikhawatirkan akan terjadi penurunan biodiversitas biota laut massal dan rentan terhadap kepunahan.
Referensi:
Latuconsina, H. 2010. Dampak
pemanasan global terhadap ekosistem pesisir dan lautan. Jurnal
Ilmiah agribisnis dan Perikanan. 3 (1): 30-37.