Derita Dibalik Euforia Hari Nelayan
- Jumiati Ningsih
- 09 Apr 2021
Hari Nelayan (6 April 2021) diperingati sebagai wujud mengapresiasi jasa para nelayan Indonesia dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein dan gizi bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Sekaligus sebagai pengingat untuk bersyukur dan memajukan kesejahteraan nelayan. Peringatan terasa hambar bila sekadar euforia saja. Sebuah tradisi yang terus dilestarikan oleh masyarakat pesisir adalah peringatan hari nelayan dengan melabuhkan sajen ke laut sebagai harapan hasil tangkapan nelayan semakin berlimpah dan memakmurkan kehidupan mereka.
Hutang Mencekik Nelayan
Semakin besar modal usaha, semakin baik pula teknologi yang dapat dimanfaatkan sehingga semakin besar pula kemungkinan usaha penangkapan ikan bisa berjalan lebih baik. Sebaliknya semakin kecil modal, semakin sederhana pula teknologi yang dapat dimanfaatkan sehingga usaha penangkapan ikan semakin tidak pasti dan berisiko. Permasalahan tersebut membuat kebutuhan nelayan untuk mendapatkan modal dari lembaga pembiayaan formal semakin sulit. Oleh karena itu, mereka mencari alternatif mendapatkan modal dengan meminjam dari pedagang pengepul, bakul atau pedagang ikan dengan rente (bunga) tinggi.
Hubungan diantara mereka cenderung
sangat intens, sehingga membentuk pola ketergantungan dan hubungan timbal balik
yang mendalam antara nelayan dengan pemberi modal. Nelayan yang telah
mendapatkan modal, baik untuk investasi ataupun keperluan operasional kapal,
“berkewajiban” menjual hasil tangkapannya kepada pemberi modal, umumnya adalah
pedagang pengepul, bakul atau pedagang ikan. Selain itu, perbedaan tipologi
perahu dan kapal, perbedaan alat tangkap dan perbedaan daerah penangkapan
(fishing ground) sangat mempengaruhi jumlah investasi dan modal yang ditanamkan
untuk usaha penangkapan ikan.
Semakin baik peralatan dan kualitas
teknologi penangkapan ikan, semakin besar pula kemungkinan untuk mendapatkan
hasil tangkapan. Dengan demikian, semakin mahal pula investasi yang harus
ditanamkan untuk usaha penangkapan ikan. Di lain pihak, usaha penangkapan ikan
di laut memiliki risiko yang cukup tinggi. Ada kemungkinan nelayan tidak
memperoleh hasil tangkapan sama sekali sehingga usaha penangkapan akan merugi
sebagai akibat biaya operasional yang mahal. Selain itu sangat mungkin terjadi
risiko kerusakan atau kehilangan perahu dan jaring sewaktu melakukan
penangkapan ikan. Sementara itu bunga peminjaman modal akan terus bertambah.
Jaminan Kesejahteraan Melalui Kebijakan
Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2015. Pada Pasal 2, setiap orang dilarang menggunakan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan alat penangkapan ikan pukat tarik (seine nets) di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Penetapan kebijakan pelarangan alat tangkap tersebut juga didasarkan oleh kondisi perikanan Indonesia yang mulai menurun setiap tahun. Turunnya hasil produksi perikanan diakibatkan adanya kerusakan ekosistem laut seperti padang lamun maupun terumbu karang. Kerusakan ekologi yang terjadi disebabkan oleh penggunaan alat tangkap perikanan yang tidak ramah lingkungan.
Sisi lain, penetapan kebijakan
tersebut memengaruhi struktur kehidupan sosial-ekonomi nelayan. Hasil tangkapan
ikan nelayan dapat menurun akibat alat tangkap yang kurang memadai. Nelayan
yang terbiasa menggunakan alat tangkap pukat, salah satunya cantrang, harus
beralih ke alat tangkap lain yang lebih ramah lingkungan namun dapat
menghasilkan ikan yang sama banyaknya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Upaya
nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup dihadapkan pada risiko, hilang atau
rusaknya sarana penangkapan ikan, dan kecelakaan kerja atau kehilangan jiwa
bagi nelayan.
Hal tersebut akan berdampak pada
hilangnya pendapatan dari nelayan serta sumber pendapatan untuk menghidupi
keluarganya. Program Bantuan Premi Asuransi Nelayan (BPAN) dirancang sebagai
perlindungan bagi nelayan di dalam melakukan pekerjaannya serta memberikan
stimulus dengan memberikan bantuan pembayaran premi asuransi. Kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan BPAN yaitu, kendala sosialisasi program kepada
nelayan. Meskipun nelayan telah mengikuti sosialisasi BPAN, namun beberapa
nelayan masih belum memahami program BPAN secara menyeluruh. Kurangnya Sumber
Daya Manusia atau Staf dalam Dinas perikanan. Hal tersebut dikarenakan jumlah
nelayan yang banyak.
Serta koordinasi antar staf dalam
dinas perikanan masih kurang berjalan. Struktur organisasi dalam dinas perikanan
bidang perikanan tangkap masih belum dibentuk. Tidak ada pembagian atau
spesialisasi tugas dalam dinas perikanan. Akibatnya komunikasi dalam struktur
birokrasi cenderung mengalami miskomunikasi. Tidak ada pengawas pelaksanaan
BPAN dari Dinas Perikanan menambah sulitnya mencapai manfaat dari program ini.
Tidak adanya pengawas pelaksanaan BPAN oleh pelaksana Dinas perikanan selain
pusat dikarenakan pengawas diluar Dinas Peikanan pusat tidak terlalu perlu,
karena setiap tahun akan ada pengawasan dan evaluasi dari pusat.
Di negeri ini hampir seluruh nelayan
hidup dibawah garis kemiskinan. Kekayaan laut yang melimpah ruah tak menjadi
jaminan sejahterahnya hidup mereka. Ini seperti sebuah paradoks kebijakan,
dimana implementasi di lapangan tidak sesuai dengan yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan.