Follow us

Upaya Preventif Dan Kuratif Terhadap Bencana Tsunami



            Tsunami sejatinya merupakan dua kata dalam bahasa Jepang yakni Tsu yang berarti Pelabuhan dan Nami yang berarti Gelombang. KBBI memberikan definisi Tsunami yakni gelombang laut dahsyat (gelombang pasang) yang terjadi karena gempa bumi atau letusan gunung api di dasar laut. Definisi ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Gupta & Gahalut (2014) bahwa Tsunami terutama disebabkan oleh gempa bumi yang terjadi di dasar laut, tetapi dapat pula disebabkan oleh tanah longsor, letusan gunung berapi, dan pencairan gletser. Hal ini menunjukkan bahwa Tsunami merupakan peristiwa alam sekunder, yakni suatu peristiwa alam yang selalu didahului oleh peristiwa alam lainnya.

            Mekanisme terjadinya Tsunami sebetulnya tidak berbeda dengan mekanisme kekekalan Energi Mekanik, yang ditunjukkan oleh gambar di bawah ini:


Gambar 1: Mekanisme Kekekalan Energi Mekanik

Ketika bola berada di tempat yang tinggi, bola memiliki Energi Potensial, yang merupakan hasil perkalian antara massa (m), percepatan gravitasi (g), dan ketinggian (h). Ketika bola dijatuhkan, Energi Potensial berkurang dan Energi Kinetik yang merupakan separuh dari hasil perkalian antara massa bola (m) dan kuadrat kecepatan (v2) bertambah. Namun Energi Mekanik yang merupakan penjumlahan antara Energi Potensial dengan Energi Mekanik selalu tetap. Tsunami juga memiliki mekanisme demikian, teapi secara terbalik. Karena Pusat Pergerakan Lempengan Tektonik (Hiposentrum) terjadi di kedalaman, nilai ketinggian pada rumus Energi Potensial diganti menjadi nilai kedalaman Hiposentrum. Tsunami akan memiliki Energi Potensial yang semakin besar apabila terjadi di laut yang dalam dengan letak Hiposentrum dekat dengan kerak dasar laut. Semakin dalam laut akan semakin besar pula massa airnya. Gelombang laut yang ditimbulkan akan mengalami perambatan mendekati daratan, yang mana kedalaman laut semakin berkurang, hingga ketika mencapai bibir pantai, Energi Potensial terkonversi menjadi Energi Kinetik yang meluluhlantakkan apapun yang diterjangnya.


Gambar 2: Perambatan Gelombang Tsunami

            Sebagaimana diketahui bahwa Pergeseran Lempengan Tektonik merupakan penyebab utama terjadinya Tsunami, upaya preventif terhadap bencana Tsunami hanya dapat dilakukan dengan mengetahui kapan dan di mana pergeseran tersebut terjadi. Masalahnya Indonesia merupakan negara yang dikelilingi patahan lempengan tektonik sehingga pergeseran dapat terjadi di mana saja.


Gambar 3: Peta Letak Lempengan Tektonik di Wilayah Indonesia

Salah satu upaya preventif yang dilakukan adalah dengan meletakkan sejumlah Surface Buoy di tempat-tempat yang diduga merupakan tempat pertemuan atau patahan lempengan tektonik. Surface Buoy ini terhubung dengan sensor yang diletakkan di dasar laut, baik dengan kabel maupun nirkabel. Ketika terjadi pergerakan lempengan, sensor akan mengirim sinyal kepada Surface Buoy yang lalu meneruskan sinyal tersebut ke stasiun pemantau yang berada di pantai. Mekanisme ini tampak efektif, namun terdapat permasalahan berikutnya, yaitu berapa buah Surface Buoy yang harus diletakkan kalau lempengan tektoniknya memiliki panjang seperti yang tampak pada gambar 3.


Gambar 4: Surface Buoy

Cara kedua yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan platform yang bergerak. Sejumlah Kapal Riset seperti KRI Rigel dapat dioperasikan di sepanjang lempengan tektonik sebagaimana tampak pada gambar 3. Kapal Riset ini secara standard memiliki Sonar yang juga dapat mendeteksi adanya pergerakan lempengan di dasar laut. Perangkat lainnya yang dapat digunakan pada Kapal Riset adalah ROV (Remotely Operated Vehicle). Perangkat ini dapat melakukan pemetaan dasar laut termasuk lokasi-lokasi yang berpotensi mengalami gempa. Mobilitas yang dimiliki membuat Kapal Riset dapat melakukan pemetaan pada seluruh lempengan yang ada, lalu mengirimkan data yang diperoleh pada seluruh stasiun pemantau di tepi pantai.

KRI Rigel merupakan kapal yang dioperasikan oleh TNI AL dengan nomor lambung 933. Ke depannya, kapal jenis ini akan lebih dominan dioperasikan oleh BAKAMLA RI sebagai lembaga yang bertugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia (Pasal 61 UU No. 32 Tahun 2014). Tentu saja akan diperlukan banyak kapal jenis ini untuk dapat beroperasi di seluruh daerah yang terdapat lempengan tektonik. Tetapi hal ini dapat dipenuhi dengan adanya material Ferrocement yang merupakan material kapal masa depan, yang memiliki kekuatan cukup besar untuk menahan benturan dengan kebutuhan biaya manufaktur yang rendah dibandingkan jenis material lainnya (Sudiro, 2021).


Gambar 5: KRI Rigel 933

            Upaya Kuratif terhadap Bencana Tsunami dilakukan dengan memanfaatkan kekayaan alam, yakni Bakau (Mangrove). Bakau merupakan tumbuhan yang memiliki beberapa keunikan, di antaranya dapat tumbuh di daerah yang terendam air laut. Bakau sanggup tumbuh di daerah yang terendam air laut secara permanen karena dua hal. Pertama karena keberadaan pori khusus di permukaan daunnya yang berfungsi mengeluarkan kelebihan garam yang diserap dari air laut. Kedua karena bentuk akarnya yang khas membuat Bakau mampu bertahan dari terjangan gelombang laut.


Gambar 6: Akar Bakau

            Akar Tunjang yang dimiliki Bakau di samping menahan terjangan gelombang laut dan sebagai penanda spesiesnya, juga memiliki banyak sekali fungsi lainnya. Beberapa hewan kecil hingga hewan mikroskopis menjadikannya sebagai tempat berlindung sekaligus tempat mencari makan. Hingga Alice Outwater (1996), seorang praktisi ekologi asal AS menyatakan Rawa Bakau sebagai ‘ekosistem paling produktif di dunia’. Peranan Bakau dalam menjaga daratan dari Tsunami juga berkaitan dengan mekanisme perkembangbiakannya yang unik dan tidak ditemukan pada tumbuhan jenis lain. Bakau memiliki tunas yang sudah berkecambah sejak buahnya masih tergantung di dahannya. Tunas atau kecambah ini walaupun berwarna hijau memiliki kekerasan seperti kayu, sehingga ketika meluncur jatuh ke air bagian bawahnya yang runcing akan langsung tertancap pada lumpur di bawahnya. Bagian ini akan langsung tumbuh menjadi akar dan bagian atasnya menjadi dahan. Mekanisme ini menjadikan Bakau menjadi ‘agen’ reklamasi alami. Ketika ombak laut menerjang, material sedimen seperti pasir dan bongkahan karang akan terbawa. Ombak akan surut kembali, tetapi tidak dengan material sedimen yang terbawa olehnya, karena tertahan oleh akar Bakau. Lama kelamaan daratan baru akan terbentuk dan luas daratan akan bertambah.


Gambar 7: Proses Perkembangbiakan Bakau

            Kala Tsunami menerjang, Bakau akan memecah gelombangnya sehingga mengurangi Energi Kinetiknya secara drastis. Apabila gelombang memiliki ketinggian melebihi tinggi pohon, Bakau akan mencegah apapun yang dibawa oleh gelombang tersebut saat menerjang hanyut ke laut lepas sehingga dapat menekan angka korban. Untuk itu Bakau mulai banyak ditanami di sepanjang pesisir pantai yang memiliki tingkat risiko Tsunami yang tinggi karena Bakau terbukti memiliki efektivitas yang lebih tinggi daripada pemecah gelombang buatan apapun.


Gambar 8: Salah Satu Kegiatan Penanaman Bakau

            Indonesia memiliki tingkat risiko tinggi terhadap Tsunami disebabkan banyaknya lempengan tektonik yang terdapat di wilayah Indonesia. Untuk itu diperlukan adanya upaya preventif maupun kuratif dalam menanggulangi Bencana Tsunami yang dapat melanda kapan saja. Upaya preventif hanya dapat dilakukan dengan mengetahui kapan dan di mana terjadi pergerakan lempengan tektonik. Peletakan Surface Buoy tidak efektif untuk wilayah-wilayah yang dilalui banyak lempengan tektonik seperti Indonesia. Penggunaan Kapal Riset yang memiliki mobilitas memberikan kelebihan dalam proses pemetaan dan pendeteksian seluruh lempeng tektonik secara massif. Upaya kuratif dapat dilakukan dengan memanfaatkan kekayaan alam, yakni tanaman Bakau (Mangrove). Di samping sebagai upaya kuratif dalam mengatasi Bencana Tsunami, Bakau juga dapat menjadi ‘agen’ reklamasi alami.

Referensi

Gonnick, Larry dan Outwater, Alice. 2004. Kartun Lingkungan. Jakarta: KPG

Gupta, Harsh K. dan Gahalaut, Vineet K. 2014. Three Great Tsunamis: Lisbon (1755), Sumatra-Andaman (2004) and Japan (2011). Springer Science & Business Media.

http://siagabencana.com/post/kenalan-dengan-3-lempeng-aktif-di-indonesia-yuk

https://id.wikipedia.org/wiki/Tsunami

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tsunami

https://kumparan.com/berita-update/energi-potensial-hanya-dimiliki-oleh-benda-yang-berada-di-ketinggian-tertentu-1ukp1FE3iD1

https://national-oceanographic.com/article/ferrocement-sebagai-material-masa-depan-dalam-pembuatan-kapal

https://nctr.pmel.noaa.gov/Dart/Jpg/DART_II_metric-page.jpg

https://www.bankjim.com/2018/03/apa-itu-tsunami-apa-penyebab.html

https://www.oneearth.org/ecoregions/sunda-shelf-mangroves/

https://www.pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20150516/281479274993277

Time Life Inc. 1996. Ekologi dan Lingkungan. Jakarta: PT Tira Pustaka.

UU No. 32 Tahun 2014.