Follow us

Strategi Indonesia Hadapi Potensi Konflik di Kawasan Asia Pasifik Melalui Diplomasi Pertahanan Maritim



          Sekuritas dari keamanan isu maritime di dunia global semkain berkembang diiringi oleh dinamika perubahan isu keamanan itu sendiri. Berkenaan dengan isu dinamika maritime global yang dinamis maka teori konsep juga berkembang sebagai alat bukti empiris untuk menganalisa sebuah fenomena. Termasuk dengan teori sekuritisasi yang berkembang dari pemikiran Copenhagen School dan dikembangkan oleh Buzan, Waever, dan Wilde mengenai konsep keamanan adalah langkah survival dari aktor politik terkait. Sebuah isu atau fenomena yang berkaitan dengan keamanan akan menjadi beberapa level pembagian termasuk dititik kesepakatan isu tersebut dapat menjadi ancaman, untuk itu para aktor sekuritisasi dapat menggunakan daya Speech Act untuk mengkonstruksi kembali sebuah ancaman tersebut memiliki dampak yang membahayakan[1]. Sejalan dengan pemikiran Mahzab Copenhagen dengan teori Sekuritisasi dapat dijumpai dalam dinamika terkini keamanan wilayah startegis melalui perjanjian AUKUS.

            AUKUS merupakan akronim dari Australia, Amerika Serikat dan Inggris yang selanjutnya mengejutkan dunia internasional dengan terbentuknya perjanjian keamanan trilateral. Dengan tujuan dan harapan adanya perjanjian keamanan ini terhadap pembangunan kerjasama industry pertahanan yang lebih besar secara global, Australia mengedepankan visi perkembangan teknologi utama, cyber capalities,  artificial intelligence, teknologi kuantum, dan kemampuan matra laut tambahan. Visi yang menjadi acuan oleh Australia berdasar pada potensi tantangan dikawasan Indo-Pasifik telah meningkat secara signifikan. Maka secara lebih tepat Pada 16 September 2021, Perdana Menteri Australia Scott Morrison, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, mengumumkan peningkatan kemitraan keamanan trilateral antara Australia, Inggris, dan AS (AUKUS).[2]


            Selain adanya visi perkembangan teknologi pertahanan dinegaranya mengingat potensi kawasan Indo-Pasifik rawan akan konflik berlanjut, di lain hal pembentukan perjanjian keamanan tersebut merujuk pada keterlibatan China sebagai alasan besar terbentuknya AUKUS. Keberadaan China terhadap ekspansionisme dan agresi dikawasan Laut China Selatan sempat disinggung oleh ketiga negara terkait walaupun secara eksplisit[3]. Berbanding terbalik dengan argument utama dari negara-negara AUKUS, bahwasanya perjanjian keamanan dimaksudkan untuk menjaga stabilitas kawasan Indo-Pasifik China justru menilai AUKUS hanya bentuk pembuktian kekuatan agrerat yang dimiliki negara-negara AUKUS untuk lebih melebarkan sayapnya dalam bidang pertahanan. China justru dengan teliti hendak memantau perkembangan AUKUS secara signifikan.  

            Tidak hanya China tetapi banyak negara-bangsa mengeluarkan respon terkait menyikapi perjanjian keamanan AUKUS, selain China negara yang secara langsung merespon terkait kekecewaan yang dirasakannya adalah Prancis. Sebelum Australia secara resmi bergabung dengan Amerika Serikat dan Inggris dalam AUKUS, Australia telah merencanakan pemesanan diesel-elektrik Barracuda Submairne dengan total kerugian $90 billion yang harus Prancis tanggung. Kembali pada tahun 2018 Presiden Prancis, Macron telah mengidentifikasi Australia menjadi mitra utama dalam perencanaan strategi Indo-Pasifik baru milik Prancis. Hubungan kedua negara tersebut dibangun atas pondasi kepercayaan dan potensi masing-masing negara dengan harapan pada kawasan Indo-Pasifik. Sama-sama menjadi aktor konstelasi utama dikawasasan pasifik yang memiliki perhatian penuh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengaruh militer China dikawasan perairan yang telah dieksplorasi.

            Pihak Prancis sendiri merasa tiadanya pembenaran atas kesepakatan yang dilakukan Australia dengan merugikan salah satu pihak, hal tersebut didorong kurangnya transparansi dari Australia. Sementara itu masih banyak pertimbangan Prancis untuk melakukan tindakan untuk merespon fenomena AUKUS. Prancis yang menyadari kondisi internasional kelak akan semakin runyam maka menghindari kecaman strategis yang terlalui jauh dan tidak membuahkan hasil yang maksimal. Dilain sisi terdapat beberapa negara yang mendukung perjanjian keamanan tersebut yakni Filipina. Dari sudut pandang berbeda lagi negara di asia tenggara tersebut mendukung Australia untuk memiliki kapal selam bertenaga nuklir, hal ini didasari oleh semangat untuk menghalau kekuatan China dikawasan Laut China Selatan, sedangkan Laut China Selatan merupakan sebuah kawasan yang dinilai terus menumbuhkan ketegangan dan harus dihadapi dengan persiapan kekuatan pertahanan kawasan.

            Menteri Luar Negeri Filipina menyatakan bahwa tindakan AUKUS tidak akan melanggar perjanjian non-proliferasi karena, kawasan Asia Tenggara telah memiliki perjanjian pertahanan termasuk Filipina dan sekutu barat untuk melakukan operasi yang mereka sebut sebagai kebebasan navigasi yang jelas ditentang oleh pihak China. Dengan dukungan tersebut kedekatan antar negara akan meningkatkan sekutu ASEAN dalam menanggapi ancaman dari kawasan serta dorongan peningkatan teknologi kapal selam nuklir milik Australia akan mengguntungkan beberapa wilayah terkait. Filipina yakin dalam pandangannya bahwa adanya ketidakseimbangan dalam kekuatan yang dimiliki negara anggota ASEAN untuk menghadapi instabilitas kawasan dalam kasus Laut China Selatan[4]. Tidak seperti Filipina negara Asia Tenggara lainnya seperti Indonesia dan Malaysia menyatakan penolakan dan kekhawatirannya terhadap perjanjian AUKUS dan pembangunan kapal selam bertenaga nuklir.

            Indonesia dan Malaysia secara langsung menunjukan respon kekhawatiran yang berbanding terbalik oleh Filipina. Hal ini dikarenakan adanya probilitas perlombaan senjata muncul dikawasan justru merugikan negara-negara yang lainnya dan berujung menjadi sebuah ancaman. Kekhawatiran dan keprihatinan yang ditunjukan Indonesia bahwa Australia sendiri telah melanggar perjanjian non-proliferasi dan menjaga stabilitas kawasan yang sudah dimuat dalam Treaty of Amity and Cooperation serta penekanan Indonesia terhadap kepatuhan Australia pada hukum internasional yang ada dalam UNCLOS 1982 untuk menjaga stabilitas kawasan. Sehingga Indonesia lebih menyarankan dan mengutamakan untuk melakukan perundingan diplomatic bersamaan dengan pihak yang terkait untuk menyelesaikan perbedaan secara damai.

            Melalui beberapa penjabaran serta jalannya dinamika AUKUS sebagai isu baru dalam konteks keamanan dapat tinjau melaui teori sekuritisasi mengingat fenomena tersebut beruntut serta memiliki tingkat analisa yang relevan. Dalam teori sekuritisasi yang sudah berkembang secara sederhana dapat dijelaskan menjadi sebuah proses dimana isu menjadi pemahaman baru yakni sebagai masalah keamanan. Sebuah isu kemudian berproses menjadi masalah keamanan disebabkan adanya  discourse content serta dorongan dari aktor politik yang mentransformasi isu tersebut menjadi urgensi yang harus dihadapi sehingga dapat mengkonstruksi pikiran[5]. Aktor-aktor politik memiliki daya kontruksi yang besar untuk mempengaruhi presepsi dari isu keamanan serta level ancaman yang harus dihadapi oleh public.

            Argumentasi dasar yang digagas Barry Buzan diformulasikan terhadap aktor politik yang mengumumkan isu atau permasalahan dengan tingkat keamanan tertentu menjadi cara-cara aktor politik/pemerintah memperkenalkan ancaman keamanan yang baru terhadap public. Selain itu, masalah ancaman ini tidak dapat terlepas oleh 6 tahapan penting dalam proses sekuritisasi; securitizing actor, speech act, existential threat, referent object, audience, dan functional actor[6]. Beberapa tahapan sekuritisasi terebut juga dilakukan Indonesia sebagai negara yang menyikapi perjanjian trilateral AUKUS, melalui sekuritisasi juga menjadi sebuah pembuktian Indonesia juga melakukan tindakan demi menjaga kedaulatan negarannya. Mengingat perjanjian AUKUS tersebut akan dibangunnya kapal selam nuklir untuk Australia jelas memiliki kekuatan yang berbeda dengan kapal selam konvensional sehingga dapat menjadi alasan counter attack terhadap negara-negara tentangga termasuk Indonesia.

            Seyogyanya Indonesia dalam diplomasi pertahanan yang dibangun terus mengalami peningkatan dan rencana perkembangan, sebagai bentuk kepatuhan terhadap kesiapan Indonesia menghadapi ancaman serta instabilitas kawasan. AUKUS telah menjadi sebuah ancaman negara karena tindakan-tindakan yang sebelumnya telah dijelaskan dan menuai dampak serta respon yang beragam. Diplomasi pertahanan Indonesia juga merupakan rujukan terhadap sekuritisasi terhadap ancaman, selain lebih mengutamakan jalan diplomasi dan perundingan multilateral Indonesia lebih berfokus terhadap pembangunan industry pertahanan untuk mengimbangi isu kawasan serta menyiapkan diri dari isu kawasan. Pertahanan negara juga sebuah kewajiban bagi seluruh warga negara, melalui pertahanan yang kuat akan lebih meningkatkan dalam menghadapi berbagai macam ancaman baik dari dalam maupun luar.


Persiapan tersebut ditempuh oleh Menteri pertahanan Indonesia Prabowo Subianto dengan memodernisasi alutsista, terutama alutsista matra laut dengan jumlah nominal anggaran yang cukup banyak setara Rp 1,75 kuadriliun[7] dengan dukungan BUMN dan BUMS. Dengan kepemilikan alutsista yang seadanya Indonesia masih belum bisa mengimbangi konstelasi aktor konflik di kawasan lainnya ditambah tendensi konflik kawasan yang semakin tinggi maka hal ini menjadi sebuah urgensi dan tantangan baru. Tetapi disisi lain pertahanan negara Indonesia sendiri tidak bisa dipandang sebelah mata karena Indonesia dalam Global Fire Power Military Strengh 2021 berada pada peringkat 16 dari 140 negara[8]. Dengan signifikansi terhadap kekuatan alutsista matra laut, total secara keseluruhan 282 aset dengan perincian; 7 Frigate, 24 Kapal Korvet, 5 Kapal Selam, 179 Kapal Patroli. Penguatan alutsista matra laut sendiri menjadi alasan besar karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan akses perairan lebih luas. Indonesia lebih memilih untuk focus dalam mempersiapkan pertahanan dalam menjaga kedaulatan agar mencapai tujuan yang didamba, karena perang bukan satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai kedamaian hal ini sesuai dengan asas, Si Vis Pacem, Para Bellum.         

 

Daftar Pustaka

[1] Triyoga Budi, Sugeng B. 2014. “Diplomasi Pertahanan Sebagai Bagian Dari Diplomasi Total RI”. Jurnal Pertahanan, Volume 4, Nomor 2

[2] Fact Sheet, AUKUS: Trilateral security partnership (2021), diakses melalui https://www1.defence.gov.au/sites/default/files/2021-09/AUKUS-Factsheet.pdf

[3] Artikel The Guardian, China warns US-UK-Australia pact could ‘hurt their own interests’, diakses melalui https://www.theguardian.com/world/2021/sep/16/cold-war-mentality-china-criticises-aukus-us-uk-australia-submarine-pact

[4] Artikel Radio Free Asia, Philippines Throws Support Behind AUKUS Pact, diakses melalui https://www.rfa.org/english/news/china/pact-09212021152655.html

[5] Agus Trihartono, Suyani Indriastuti, dkk. 2019. “Kemanan Dan Sekuritisasi Dalam Hubungan Internasional”. Melvana Publishing

[6] Rizky Reza Lubis. 2018. “Sekuritisasi Isu Keamanan Maritim Dalam Mendukung Diplomasi Pertahanan Indonesia Di ADDM Plus On Maritime Security”. Jurnal Pertahanan & Bela Negara, April 2018, Volume 8 Nomor1

[7]“Prabowo & Urgensi Modernisasi Alutsista RI” ,artikel di akses melalui https://www.cnbcindonesia.com/news/20210602125534-4-249993/prabowo-urgensi-modernisasi-alutsista-ri