Strategi Indonesia Hadapi Potensi Konflik di Kawasan Asia Pasifik Melalui Diplomasi Pertahanan Maritim
- Devi Anggraini S.Hub.Int, M.Si
- 09 Oct 2021
Sekuritas
dari keamanan isu maritime di dunia global semkain berkembang diiringi oleh
dinamika perubahan isu keamanan itu sendiri. Berkenaan dengan isu dinamika
maritime global yang dinamis maka teori konsep juga berkembang sebagai alat
bukti empiris untuk menganalisa sebuah fenomena. Termasuk dengan teori
sekuritisasi yang berkembang dari pemikiran Copenhagen
School dan dikembangkan oleh Buzan, Waever, dan Wilde mengenai konsep
keamanan adalah langkah survival dari aktor politik terkait. Sebuah isu atau
fenomena yang berkaitan dengan keamanan akan menjadi beberapa level pembagian
termasuk dititik kesepakatan isu tersebut dapat menjadi ancaman, untuk itu para
aktor sekuritisasi dapat menggunakan daya Speech
Act untuk mengkonstruksi kembali sebuah ancaman tersebut memiliki dampak
yang membahayakan[1].
Sejalan dengan pemikiran Mahzab Copenhagen dengan teori Sekuritisasi dapat
dijumpai dalam dinamika terkini keamanan wilayah startegis melalui perjanjian
AUKUS.
AUKUS merupakan akronim dari Australia, Amerika Serikat dan Inggris yang selanjutnya mengejutkan dunia internasional dengan terbentuknya perjanjian keamanan trilateral. Dengan tujuan dan harapan adanya perjanjian keamanan ini terhadap pembangunan kerjasama industry pertahanan yang lebih besar secara global, Australia mengedepankan visi perkembangan teknologi utama, cyber capalities, artificial intelligence, teknologi kuantum, dan kemampuan matra laut tambahan. Visi yang menjadi acuan oleh Australia berdasar pada potensi tantangan dikawasan Indo-Pasifik telah meningkat secara signifikan. Maka secara lebih tepat Pada 16 September 2021, Perdana Menteri Australia Scott Morrison, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, mengumumkan peningkatan kemitraan keamanan trilateral antara Australia, Inggris, dan AS (AUKUS).[2]
Selain
adanya visi perkembangan teknologi pertahanan dinegaranya mengingat potensi
kawasan Indo-Pasifik rawan akan konflik berlanjut, di lain hal pembentukan
perjanjian keamanan tersebut merujuk pada keterlibatan China sebagai alasan
besar terbentuknya AUKUS. Keberadaan China terhadap ekspansionisme dan agresi
dikawasan Laut China Selatan sempat disinggung oleh ketiga negara terkait
walaupun secara eksplisit[3]. Berbanding terbalik dengan argument utama dari
negara-negara AUKUS, bahwasanya perjanjian keamanan dimaksudkan untuk menjaga
stabilitas kawasan Indo-Pasifik China justru menilai AUKUS hanya bentuk
pembuktian kekuatan agrerat yang dimiliki negara-negara AUKUS untuk lebih melebarkan
sayapnya dalam bidang pertahanan. China justru dengan teliti hendak memantau
perkembangan AUKUS secara signifikan.
Tidak
hanya China tetapi banyak negara-bangsa mengeluarkan respon terkait menyikapi
perjanjian keamanan AUKUS, selain China negara yang secara langsung merespon
terkait kekecewaan yang dirasakannya adalah Prancis. Sebelum Australia secara resmi
bergabung dengan Amerika Serikat dan Inggris dalam AUKUS, Australia telah
merencanakan pemesanan diesel-elektrik Barracuda Submairne dengan total
kerugian $90 billion yang harus Prancis tanggung. Kembali pada tahun 2018
Presiden Prancis, Macron telah mengidentifikasi Australia menjadi mitra utama
dalam perencanaan strategi Indo-Pasifik baru milik Prancis. Hubungan kedua
negara tersebut dibangun atas pondasi kepercayaan dan potensi masing-masing
negara dengan harapan pada kawasan Indo-Pasifik. Sama-sama menjadi aktor
konstelasi utama dikawasasan pasifik yang memiliki perhatian penuh terhadap
pertumbuhan ekonomi dan pengaruh militer China dikawasan perairan yang telah
dieksplorasi.
Pihak Prancis sendiri merasa tiadanya
pembenaran atas kesepakatan yang dilakukan Australia dengan merugikan salah
satu pihak, hal tersebut didorong kurangnya transparansi dari Australia.
Sementara itu masih banyak pertimbangan Prancis untuk melakukan tindakan untuk
merespon fenomena AUKUS. Prancis yang menyadari kondisi internasional kelak
akan semakin runyam maka menghindari kecaman strategis yang terlalui jauh dan
tidak membuahkan hasil yang maksimal. Dilain sisi terdapat beberapa negara yang
mendukung perjanjian keamanan tersebut yakni Filipina. Dari sudut pandang
berbeda lagi negara di asia tenggara tersebut mendukung Australia untuk
memiliki kapal selam bertenaga nuklir, hal ini didasari oleh semangat untuk
menghalau kekuatan China dikawasan Laut China Selatan, sedangkan Laut China
Selatan merupakan sebuah kawasan yang dinilai terus menumbuhkan ketegangan dan
harus dihadapi dengan persiapan kekuatan pertahanan kawasan.
Menteri Luar Negeri Filipina
menyatakan bahwa tindakan AUKUS tidak akan melanggar perjanjian non-proliferasi
karena, kawasan Asia Tenggara telah memiliki perjanjian pertahanan termasuk
Filipina dan sekutu barat untuk melakukan operasi yang mereka sebut sebagai kebebasan
navigasi yang jelas ditentang oleh pihak China. Dengan dukungan tersebut kedekatan
antar negara akan meningkatkan sekutu ASEAN dalam menanggapi ancaman dari
kawasan serta dorongan peningkatan teknologi kapal selam nuklir milik Australia
akan mengguntungkan beberapa wilayah terkait. Filipina yakin dalam pandangannya
bahwa adanya ketidakseimbangan dalam kekuatan yang dimiliki negara anggota
ASEAN untuk menghadapi instabilitas kawasan dalam kasus Laut China Selatan[4].
Tidak seperti Filipina negara Asia Tenggara lainnya seperti Indonesia dan
Malaysia menyatakan penolakan dan kekhawatirannya terhadap perjanjian AUKUS dan
pembangunan kapal selam bertenaga nuklir.
Indonesia dan Malaysia secara
langsung menunjukan respon kekhawatiran yang berbanding terbalik oleh Filipina.
Hal ini dikarenakan adanya probilitas perlombaan senjata muncul dikawasan
justru merugikan negara-negara yang lainnya dan berujung menjadi sebuah ancaman.
Kekhawatiran dan keprihatinan yang ditunjukan Indonesia bahwa Australia sendiri
telah melanggar perjanjian non-proliferasi dan menjaga stabilitas kawasan yang
sudah dimuat dalam Treaty of Amity and
Cooperation serta penekanan Indonesia terhadap kepatuhan Australia pada
hukum internasional yang ada dalam UNCLOS 1982 untuk menjaga stabilitas kawasan.
Sehingga Indonesia lebih menyarankan dan mengutamakan untuk melakukan
perundingan diplomatic bersamaan dengan pihak yang terkait untuk menyelesaikan
perbedaan secara damai.
Melalui beberapa penjabaran serta
jalannya dinamika AUKUS sebagai isu baru dalam konteks keamanan dapat tinjau
melaui teori sekuritisasi mengingat fenomena tersebut beruntut serta memiliki
tingkat analisa yang relevan. Dalam teori sekuritisasi yang sudah berkembang
secara sederhana dapat dijelaskan menjadi sebuah proses dimana isu menjadi
pemahaman baru yakni sebagai masalah keamanan. Sebuah isu kemudian berproses
menjadi masalah keamanan disebabkan adanya discourse content serta dorongan dari
aktor politik yang mentransformasi isu tersebut menjadi urgensi yang harus
dihadapi sehingga dapat mengkonstruksi pikiran[5].
Aktor-aktor politik memiliki daya kontruksi yang besar untuk mempengaruhi
presepsi dari isu keamanan serta level ancaman yang harus dihadapi oleh public.
Argumentasi dasar yang digagas Barry
Buzan diformulasikan terhadap aktor politik yang mengumumkan isu atau
permasalahan dengan tingkat keamanan tertentu menjadi cara-cara aktor
politik/pemerintah memperkenalkan ancaman keamanan yang baru terhadap public.
Selain itu, masalah ancaman ini tidak dapat terlepas oleh 6 tahapan penting
dalam proses sekuritisasi; securitizing
actor, speech act, existential threat, referent object, audience, dan
functional actor[6]. Beberapa tahapan sekuritisasi
terebut juga dilakukan Indonesia sebagai negara yang menyikapi perjanjian
trilateral AUKUS, melalui sekuritisasi juga menjadi sebuah pembuktian Indonesia
juga melakukan tindakan demi menjaga kedaulatan negarannya. Mengingat perjanjian
AUKUS tersebut akan dibangunnya kapal selam nuklir untuk Australia jelas
memiliki kekuatan yang berbeda dengan kapal selam konvensional sehingga dapat
menjadi alasan counter attack
terhadap negara-negara tentangga termasuk Indonesia.
Seyogyanya Indonesia dalam diplomasi pertahanan yang dibangun terus mengalami peningkatan dan rencana perkembangan, sebagai bentuk kepatuhan terhadap kesiapan Indonesia menghadapi ancaman serta instabilitas kawasan. AUKUS telah menjadi sebuah ancaman negara karena tindakan-tindakan yang sebelumnya telah dijelaskan dan menuai dampak serta respon yang beragam. Diplomasi pertahanan Indonesia juga merupakan rujukan terhadap sekuritisasi terhadap ancaman, selain lebih mengutamakan jalan diplomasi dan perundingan multilateral Indonesia lebih berfokus terhadap pembangunan industry pertahanan untuk mengimbangi isu kawasan serta menyiapkan diri dari isu kawasan. Pertahanan negara juga sebuah kewajiban bagi seluruh warga negara, melalui pertahanan yang kuat akan lebih meningkatkan dalam menghadapi berbagai macam ancaman baik dari dalam maupun luar.
Persiapan tersebut ditempuh oleh Menteri pertahanan Indonesia Prabowo Subianto dengan memodernisasi alutsista, terutama alutsista matra laut dengan jumlah nominal anggaran yang cukup banyak setara Rp 1,75 kuadriliun[7] dengan dukungan BUMN dan BUMS. Dengan kepemilikan alutsista yang seadanya Indonesia masih belum bisa mengimbangi konstelasi aktor konflik di kawasan lainnya ditambah tendensi konflik kawasan yang semakin tinggi maka hal ini menjadi sebuah urgensi dan tantangan baru. Tetapi disisi lain pertahanan negara Indonesia sendiri tidak bisa dipandang sebelah mata karena Indonesia dalam Global Fire Power Military Strengh 2021 berada pada peringkat 16 dari 140 negara[8]. Dengan signifikansi terhadap kekuatan alutsista matra laut, total secara keseluruhan 282 aset dengan perincian; 7 Frigate, 24 Kapal Korvet, 5 Kapal Selam, 179 Kapal Patroli. Penguatan alutsista matra laut sendiri menjadi alasan besar karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan akses perairan lebih luas. Indonesia lebih memilih untuk focus dalam mempersiapkan pertahanan dalam menjaga kedaulatan agar mencapai tujuan yang didamba, karena perang bukan satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai kedamaian hal ini sesuai dengan asas, Si Vis Pacem, Para Bellum.
Daftar Pustaka
[1] Triyoga
Budi, Sugeng B. 2014. “Diplomasi Pertahanan Sebagai Bagian Dari Diplomasi Total
RI”. Jurnal Pertahanan, Volume 4, Nomor 2
[2]
Fact Sheet, AUKUS: Trilateral security partnership (2021), diakses melalui https://www1.defence.gov.au/sites/default/files/2021-09/AUKUS-Factsheet.pdf
[3] Artikel
The Guardian, China warns US-UK-Australia pact could ‘hurt their own interests’,
diakses melalui https://www.theguardian.com/world/2021/sep/16/cold-war-mentality-china-criticises-aukus-us-uk-australia-submarine-pact
[4] Artikel
Radio Free Asia, Philippines Throws Support Behind AUKUS Pact, diakses melalui https://www.rfa.org/english/news/china/pact-09212021152655.html
[5] Agus
Trihartono, Suyani Indriastuti, dkk. 2019. “Kemanan Dan Sekuritisasi Dalam
Hubungan Internasional”. Melvana Publishing
[6] Rizky
Reza Lubis. 2018. “Sekuritisasi Isu Keamanan Maritim Dalam Mendukung Diplomasi
Pertahanan Indonesia Di ADDM Plus On Maritime Security”. Jurnal Pertahanan
& Bela Negara, April 2018, Volume 8 Nomor1
[7]“Prabowo
& Urgensi Modernisasi Alutsista RI” ,artikel di akses melalui https://www.cnbcindonesia.com/news/20210602125534-4-249993/prabowo-urgensi-modernisasi-alutsista-ri