Follow us

Potensi Karbon Biru (Blue Carbon) di Perairan Indonesia



Berdasarkan konvensi hukum laut UNCLOS 1982 wilayah laut yang dimiliki Indonesia menjadi sangat luas, yakni mencapai 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta km²  perairan teritorial dan 2,7 juta km2 perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Luas perairan ini belum termasuk landas kontinen (continent shelf). (Octa Putri 2015). Perubahan iklim yang drastis akibat kegiatan manusia telah menyumbangkan gas karbon dioksida yang cukup banyak ke udara dan atmosfer bumi. Karbon Dioksida (CO₂) memiliki kontribusi yang paling tinggi terhadap kandungan Gas Rumah Kaca yaitu sebesar 55% dari emisi karbon oleh aktivitas manusia UNEP, FAO dan UNESCO pada tahun 2009 telah memperkenalkan konsep blue carbon yaitu menekankan pentingnya ekosistem laut dan pesisir sebagai pengendali iklim. Konsep ini mengacu pada penyerapan karbon oleh marine ecosystems (mangrove, lamun, dan rawa payau/rawa masin)  (Hartati, Pratikto, and Pratiwi 2017).

Karbon dioksida (CO₂) merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang berkontribusi dalam pemanasan global. Sebanyak 40 Tera ton karbon dioksida tersimpan di laut yang berperan penting dalam siklus karbon. Laut menyerap CO₂ melalui fotosintesis oleh komunitas plankton dan vegetasi pesisir (lamun dan bakau). Proses ini digunakan sebagai salah satu konsep dalam mengurangi efek gas rumah kaca  (Wahyudi and Yona 2017)

Lautan memiliki peranan yang penting dalam siklus karbon secara global. Sekitar 93% CO₂ di bumi disirkulasikan dan disimpan melalui lautan. Laut, termasuk ekosistem pesisir pantai, dapat menyimpan karbon dalam jumlah yang banyak dan dalam jangka waktu yang relatif lama. Ekosistem pesisir pantai seperti ekosistem mangrove, rawa masin (salt marshes), dan padang lamun memiliki luas area yang relatif kecil dibandingkan luas lautan (<0,5%) dan ekosistem terestrial lainnya. Namun, ekosistem tersebut memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan karbon dengan kapasitas penyimpanan mencapai lebih dari 50% total penyimpanan karbon di dalam sedimen laut dan juga memiliki produksi primer bersih (net primary production/ NPP) yang cukup signifikan dibandingkan ekosistem lainnya. Selain itu, biomassa vegetasi pesisir yang bernilai sekitar 0,05% dibandingkan biomassa tumbuhan di daratan mampu menyimpan karbon dengan jumlah yang sebanding setiap tahunnya. Dengan demikian, lautan memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam mengikat dan menyimpan CO₂ di atmosfer (Rahmawati 2011).



Gambar  Distribusi global lamun, rawa pasang surut, dan bakau. Sumber data: Data lamun dan cakupan saltmarsh berasal dari Pusat Pemantauan Konservasi Dunia Program Lingkungan PBB (UNEP-WCMC); data cakupan mangrove berasal dari UNEP-WCMC bekerja sama dengan Masyarakat Internasional untuk Ekosistem Mangrove (ISME) (Pendleton et al. 2012)

Salah satu aspek penting dalam mitigasi perubahan iklim adalah pemeliharaan dan pengembangan kemampuan hutan dan lautan untuk menyerap dan menyimpan karbon. Pemanfaatan hutan dalam upaya mitigasi tersebut sudah banyak diimplementasikan, sedangkan penerapan peran lautan belum terlihat secara signifikan. Ekosistem laut dan pesisir memiliki peranan besar dalam siklus global karbon, sekitar 93% CO₂ di bumi disirkulasikan dan disimpan di dalam lautan. Ekosistem ini mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang banyak dan dalam jangka waktu yang relatif lebih lama dibandingkan ekosistem lainnya (Rahmawati and Kiswara 2012)

Indonesia menjadi negara penting yang dapat mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, sekaligus melalui penyerapan karbon oleh hutan. Selain itu, komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 26% atau 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2020, telah memposisikan diri di dalam upaya negosiasi penurunan emisi di tingkat internasional Karbon biru merupakan potensi bagi negara, karbon biru adalah karbon yang diambil dan disimpan di samudra dan ekosistem Pesisir, termasuk karbon pantai yang tersimpan di Mangrove, Lamun, Rumput Laut. Seperti namanya, karbon ini berwarna biru, terbentuk di bawah udara. Salah satu aspek penting dalam mitigasi perubahan iklim adalah pemeliharaan dan pengembangan kemampuan hutan dan lautan untuk menyerap dan menyimpan karbon.

Hutan mangrove memiliki salah satu fungsi yang sangat penting sebagaimana hutan lainnya yaitu sebagai penyerap dan penyimpan karbon (C). Hutan mangrove berperan dalam upaya mitigasi akibat dari pemanasan global karena mangrove dapat berfungsi sebagai penyimpan karbon (C). Hutan mangrove dapat menyimpan lebih dari tiga kali rata-rata penyimpanan karbon per hektar oleh hutan tropis daratan Hal ini didukung oleh penelitian Darusman, bahwa fungsi optimal penyerapan karbon oleh mangrove mencapai 77,9 %, dimana karbon yang diserap tersebut disimpan dalam biomassa mangrove yaitu pada beberapa bagian seperti pada batang, daun, dan akar.

Lamun memiliki peran penting sebagai penyimpan karbon, dan berkontribusi secara signifikan dalam mitigasi pemanasan global akibat perubahan iklim yang terjadi saat ini. Melindungi karbon tersimpan organik di hutan dianggap sebagai metode penting dalam mitigasi perubahan iklim. Akumulasi karbon dalam sedimen laut menyediakan penyimpanan karbon organik jangka panjang dan telah disebut sebagai karbon biru untuk membedakannya dari karbon di wastafel terrestrial.

Rumput laut juga mempunyai peran penting dalam menyerap dan menyimpan karbon dalam bentuk biomassa, baik rumput laut budidaya maupun rumput laut alam. Kapasitas penyerapan dan penyimpanan karbon sangat bergantung dari jenis, lokasi, dan kondisi lingkungan secara global.


Gambar  Perubahan dalam area mangrove antara tahun 2000 dan 2010 sebagai bagian dari garis dasar untuk semua daerah di Indonesia. Untuk daerah yang mangrovenya di bawah PA, fraksi area dihitung hanya untuk zona yang dilindungi

Pemerintah bersama dengan pihak terkait perlu melakukan berbagai hal agar blue carbon bisa masuk sebagai penanganan perubahan iklim sekaligus alternatif sumber dana, antara lain riset untuk mengukur emisi dan perkiraan proyek blue carbon dari ekosistem laut dan pesisir yang terdegradasi, sistem MRV (monitoring, reporting and verification), sampai dengan strategi pengembangan dan kebijakan mempromosikan blue carbon. ahli kelautan dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Agus Supangat mengatakan pemerintah melalui DNPI telah mengembangkan konsep perdagangan karbon di Indonesia bernama Skema Karbon Nusantara (SKN), yang dapat digunakan untuk perdagangan blue carbon. Melalui SKN, upaya penyerapan karbon, bisa didaftarkan, diverifikasi dan akhirnya mendapat sertifikasi untuk diperdagangkan yang nantinya bisa mendapatkan kompensasi pendanaan. Blue carbon adalah suatu potensi yang besar bagi negara, semua lapisan harus bijak dalam pengelolaan blue carbon, terutama pemerintah dalam menangani konservasi dan peraturan yang berkaitan dalam blue carbon, dalam hal lain, blue carbon juga berguna dalam mitigasi iklim dan emisi rumah kaca, untuk mendapatkan hasil simpanan blue carbon harus di lakukan pengelolaan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

 Referensi

Ahmed, Nesar, and Marion Glaser. 2016. “Coastal Aquaculture, Mangrove Deforestation and Blue  Carbon Emissions: Is REDD+ a Solution?” Marine Policy 66:58–66.

Ati, Restu Nur Afi, Agustin Rustam, Terry L. Kepel, Nasir Sudirman, Mariska Astrid, August Daulat, Peter Mangindaan, Hadiwijaya L. Salim, and Andreas A. Hutahaean. 2014. “Stok Karbon        Dan Stuktur Komunitas Mangrove Sebagai Blue Carbon Di Tanjung Lesung, Banten.” Jurnal      Segara 10(2):119–27.

Atwood, Trisha B., Rod M. Connolly, Euan G. Ritchie, Catherine E. Lovelock, Michael R. Heithaus, Graeme C. Hays, James W. Fourqurean, and Peter I. Macreadie. 2015. “Predators Help         Protect Carbon Stocks in Blue Carbon Ecosystems.” Nature Climate Change 5(12):1038–45.