Inkonsistensi Peningkatan Keamanan Kelautan Di Indonesia
- Jumiati Ningsih
- 22 Jan 2021
Indonesia merupakan negara kepulauan karena
wilayahnya terdiri dari pulau-pulau. Jumlah pulau yang dimiliki Indonesia
sekitar 17,500 pulau. Pulau-pulau tersebut dihubungkan oleh laut dan selat
sehingga menjadi wilayah yang dikenal juga dengan nama Nusantara. Setiap wilayahnya
bahkan memiliki keanekaragaman yang berbeda-beda. Indonesia merupakan salah
satu negara kepulauan dengan luas perairan terbesar didunia. Oleh karena itu
Indonesia memerlukan suatu perangkat yang dapat menjaga keamanan dan menegakkan
hukum dilaut. TNI AL adalah salah satu unsur Angkatan perang Republik
Indonesia. TNI AL bertugas menjaga dan mengamankan wilayah laut Indonesia,
mengabadikan dirinya sebagai pelaut untuk mencapai sasaran yang telah
ditentukan dan tidak absen dalam perjuangan membentuk dan mempertahankan negara
Indonesia.
TNI
AL dilahirkan dalam kancah perjuangan bangsa berasal dari rakyat dan
menghambakan dirinya untuk rakyat, dibesarkan, dibentuk oleh situasi dan
kondisi yang serba rumit, membentuk identitasnya sesuai kehendak merupakan
pencerminan suatu konstelasi masyarakat dari zaman ke zaman. Oleh karena itu
TNI Angkatan Laut Republik Indonesia selalu memiliki semangat juang yang tinggi
dalam mempertahankan Negara Republik Indonesia.
TNI
AL dalam perjuangan Irian Barat memiliki peran yang sangat penting khususnya
pada tahun 1962 di mana pada saat itu Belanda mulai menyerang Indonesia melalui
jalur laut karena pada persetujuan
Konferensi Meja Bundar nyatanya tidak menyelesaikan sengketa antara Indonesia
dan Belanda, maka terjadilah masalah pengakuan atas status wilayah Irian Barat.
Meninjau dari masalah sebelumnya sesungguhnya perdebatan tentang Irian Barat
telah muncul jauh sebelum pengakuan kedaulatan. Perjuangan pembebasan Irian
Barat pada tanggal 17 Agustus 1960 di pertegas kembali oleh pemerintahan
Indonesia yang membutuhkan hubungan diplomatiknya dengan Belanda. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa jalan damai semakin menipis.
Perjuangan
pembebasan Irian Barat yang dimulai sejak tahun 1950 mencapai puncaknya pada
tahun 1961, yaitu ketika presiden atau pangti APRI memutuskan untuk melancarkan
operasi militer terbuka ke daratan irian Barat. Menghadapi persiapan-persiapan
militer Indonesia, Belanda mengajukan protes ke PBB dengan menuduh Indonesia
melakukan agregasi. Selanjutnya Belanda memperkuat kedudukannya keperairan
Irian Barat, diantaranya kapal Induk Karel Doorman. Sehingga pada tanggal 19
Desember 1961 di Yogyakarta presiden Soekarno mengeluarkan komando untuk
berkonfrontasi secara militer dengan Belanda yang disebut Tri Komando Rakyat
(TRIKORA) yang isinya; gagalkan pembentukan negara boneka papua bantuan Belanda
kolonial, kibarkan sanga merah putih di Irian barat, dan bersiaplah untuk
mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan
bangsa. Sebagai tindak lanjut dari TRIKORA dalam bidang militer direalisir
dengan mempersiapkan kekuatan militer yaitu pembentukan komando mandala pada
tanggal 2 januari 1962 yang bersifat gabungan dari unsur AD, AL dan AU yang
meliputi daerah Indonesia bagian timur.
Pertempuran
Laut Aru pada tanggal 15 Januari 1962, tiga kapal angkatan laut Republik
Indonesia (ALRI) sedang melakukan misi infiltrasi sebagai salah satu langkah
merebut kembali Irian Barat ke tanah air. Tujuan dari misi ini adalah
pendaratan pasukan yang berisi Resimen pasukan Komando angkatan Darat (RKKAD)
dan sejumlah sukarelawan ke Irian barat. Sejatinya terdapat empat buah kapal
berjenis Motor Toperdo Boat buatan Jerman Barat yang melakukan misi yaitu RI
Macan Tutul, RI Macan Kumbang, Ri Harimau dan RI Singa. Namun RI Singa
mengalamikerusakan mesin dalam perjalanannya ke Irian Barat sehingga harus
kembali. Kemudian ketiga kapal lainya berhasil mendarat di Kaimana, Irian
barat.
Pesawat
milik Belanda memergoki ketika pasukan tersebut akan kembali ke markas di
Makassar. Pesawat Belanda yang memergoki tersebut berjumlah dua buah dan
langsung melaporkan pada kapal perang angkatan laut Belanda yang tengah
beroperasi di dekat perairan tersebut. Sehingga datanglah tiga kapal yang
langsung mendekat dan menghadang kapal Indonesia di tengah Laut Aru.
Pertempuran pun tak terhindarkan. Kapal milik Indonesia yang seharusnya
dilengkapi senjata torpedo, namun senjata utama tersebut ditanggalkan karena
mengutamakan terangkutnya pasukan. Ketidakseimbangan senjata pun terjadi
sehingga kapal-kapal Indonesia memutuskan untuk kembali dan menghindar. Namun,
pasukan Belanda tidak melepaskan begitu saja. guna menyelematkan dua kapal
lainnya Komodor Yos Sudarso yang memimpin pasukan tersebut memutuskan kapal
yang ditumpanginya, RI Macan Tutul, melakukan maneuver untuk bergerak lurus
menuju salah satu kapal Belanda, sehingga menjadi sasaran utama kapal-kapal
Belanda.
Kapal
RI Macan Tutul pun langsung dihantam serangan-serangan dari pasukan Belanda dan
kemudian tenggelam. Dalam peristiwa ituKomodor Yos Sudarso beserta orang-orang
yang berada di kapal tersebut meninggal dan jasadnya tidak pernah ditemukan.
Setelah pertempuran itu IR. Soekarno menetapkan hari tenggelamnya RI Macan
Tutul sebagai Hari Dharma Samudera.
Sejarah
mengajarkan kepada kita arti dari menghargai. Generasi muda saat ini sudah
mulai meninggalkan sejarah perjuangan bangsanya sendiri, dari sejarahlah kita
bisa tahu bagaimana perjuangan demi perjuangan yang telah dilakukan oleh
pahlawan bangsa ini. Mereka yang dulu heroik dalam pertempuran kini tak lagi
berbekas khususnya pada jiwa generasi masa kini harapan di masa depan. Mungkin
perjuangan pemuda Indonesia saat ini tidak hanya berperang melalui senjata
seperti di masa lalu. Perkembangan zaman menuntut kita untuk lihai dalam
menggunakan teknologi, kita bisa saja kembali diserang dari sisi mana pun.
Banyak alasan yang mendasari kecemasan penulis akan kehancuran Indonesia di
masa yang akan datang jika pemudanya tidak ditempa untuk menjaga keutuhan
negara ini.
Kehancuran
disini bukanlah seperti perperangan atau terjadi peledakan bom yang membumi
hanguskan wilayah-wilayah Indonesia. Satu per satu kekayaan Indonesia dicuri
oleh negara lain dengan berbagai manipulasi yang begitu rapi dalam strategi.
Sebelum kita mengerucut pada keadaan perairan Indonesia saat ini, mari kita
lihat dari keterbelakangan pemikiran bangsa Indonesia. Sudah berapa kasus yang
terungkap ke publik mengenai pencurian ikan, impor benih lobster dan perampasan
kekayaan laut Indonesia yang mana hal ini justru terlaksana dengan
keikutsertaan orang dalam. Para aparatur negara bahkan sampai ke tingkat
menteri ikut terlibat dalam menguras kekayaan laut negaranya sendiri, karena
tergiur iming-iming kompensasi dengan nilai yang fantastis. Masyarakat berjuang
untuk menjaga lautnya, para aparatur negara dengan kekuasaan yang ia miliki
justru merampas hak-hak yang seharusnya diberikan kepada masyarakat.
Penemuan
UUV (unmanned underwater vechile) atau drone kapal selam asing, seaglider di
perairan Indonesia yang diduga milik China oleh nelayan pada Desember 2020.
Terjaringnya seaglider milik negara lain oleh nelayan lokal bukanlah yang
pertama kali terjadi di Indonesia. Sebelumnya pada Maret 2019, UUV Sea Wiring
serupa juga pernah ditemukan oleh seorang nelayan di dekat kepulauan Riau,
sementara drone kapal selam lainya ditemukan pada januari 2020 di dekat
pangkalan angkatan laut Surabaya Secara umum, drone tersebut difungsikan
sebagai alat pengumpulan data termasuk suhu air laut, salinitas, kekeruhan, dan
tingkat oksigen. Informasi tentang arus dan arah pergerakannya akan dikirimkan
secara real-time.
Keberadaan
seaglider milik negara lain tentu mengusik keaman dan pertahanan nasional
Indonesia. Hal ini dikarenakan seaglider memiliki kemampuan perekam data
strategis. Data tersebut sangat penting untuk operasi kapal selam yang
merupakan persenjataan strategis angkatan laut, karena sifat operasinya yang
senyap dan bisa masuk ke belakang kapal selam tersebut.
Sebelumnya
ditemukannya seaglider milik China pada Desember 2020. Berbagai peristiwa telah
banyak terjadi di peraian Indonesia. Konflik di laut Natuna pada tahun 2019 lalu, konflik ini kembali
melibatkan China dengan Indonesia dilaut Natuna adalah ketika sejumlah kapal
asing penangkap ikan milik China diketahui memasuki perairan Natuna, Kepulauan
Riau. Kapal-kapal tersebut masuk perairan Indonesia pada 19 Desember 2019.
Kapal-kapal China yang masuk telah melanggar zona ekonomi eksklusif (ZEE)
Indonesia dan melakukan kegiatan illegal, unreported dan unregulated fishing (IUUF).
Selain itu, Coast Guard China juga dinyatakan melanggar kedaulatan di perairan
Natuna. Terkait hal tersebut, menteri pertahanan, Probowo Subianto mengatakan
persoalan itu tidak akan menghambat investasi dengan China. Di sisi lain, Menko
Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta agar maraknya kapal asing
di peraiaran Natuna, kepulauan Riau tidak dibesar-besarkan.
Masuknya
kapal-kapal China ke perairan Indonesia bukanlah satu-satunya kasus pelanggaran
zona ekonomi exklusif (ZEE) di perairan laut Indonesia. pada tahun yang sama
sejak Januari hingga April kementerian kelautan dan perikanan (KKP) telah
menangkap 49 kapal ikan asing, dengan 33 kapal berbendera Vietnam dan 16 kapal
berbendera Malaysia. Bahkan, dalam insiden terbaru penangkapan kapal Vietnam
VBD 979 di perairan Natuna tanggal 27 April, kapal patrol Vietnam mencoba
menghalangi penangkapan itu dengan menabrak kapal patrol TNI AL. dalam
penangkapan sebelumnya, kapal penjaga pantai (coast guard) Malaysia juga
mencoba mengejar kapal patrol TNI AL dan Satgas 115 KKP hingga ke dalam wilayah
RI.
Sebenarnya
apa yang menjadi penyebab kembalinya kapal-kapal asing tersebut ke perairan
Indonesia setelah berulang kali diusir oleh TNI AL. bahkan, mereka berani untuk
menyerang di daerah yang bukan menjadi kekuasaanya.
Pertama,
merosotnya sumber stok sumber daya ikan di sejumlah negara tetangga seperti
Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina. Perairan Indonesia merupakan area
lalu lalang jenis ikan yang berkualitas tinggi, seperti tuna. Peraian di negara
tetangga tidak seluas peraian di Indonesia, juga angka konsumsi ikan
masyarakatnya cukup tinggi di bandingkan di negara kita. Dilansir dari worldatlas.com angka konsumsi ikan di
Vietnan kurang lebih mencapai 1.148.447,43 ton per tahun sangat jauh berbeda di
Indonesia. Kita baru mencapai angka 54,49 kg perkapita pada tahun 2020, masih
rendah untuk jumlah sumber daya laut yang sangat berlimpah.
Kedua,
potensi perikanan sejumlah daerah penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif
Indonesia saat ini belum dimanfaatkan
secara optimal. Hal tersebut dikarenakan masyarakat setempat belum diberdayakan
bagaimana mengelola kekayaan laut yang mereka miliki. Kurangnya sosialisasi
serta edukasi dari pemerintah serta lembaga yang terkait juga membuka ruang
untuk melalaikan tugas yang seharusnya menjadi wewenang para pemilik kekuasaan.
Pengelolaan yang belum optimal ini juga disebabkan kurangnya riset bagaimana
cara yang efektif dalam mengelola keayaan laut yang berlimpah tersebut.
Ketiga,
pengawasan laut. Kapal asing berbendera
Vietnam termasuk yang paling sering tertangkap oleh keamanan Indonesia.
Kementerian kelautan dan Perikanan (KKP) masih memiliki keterbatasan sumber
daya manusia (SDM) dan armada kapal yang digunakan di lauttan. Hal tersebut
menjadi kendala dalam melaksanakan pengawasan sumber Daya Kelautan dan
Perikanan (SDKP) di lapangan. Sedikitnya jumlah sumber daya manusia yang
dikerhakan untuk melakukan pengawasan tidak terbatas pada sumber daya perikanan
tetapi juga focus untuk mengawasi sumber daya kelautan di seluruh wilayah
Indonesia. masih banyak tenaga kerja di PSDKP statusnya kontrak. Kalau sudah
PNS, mungkin motivasi mereka bisa lebih bagus lagi.
Keempat,
terlau banyak instansi yang memiliki kewenangan serupa untuk menegakkan hukum
dan menjaga kelautan Indonesia. ada kepolisian, TNI AL, Bakamla. Di periode
sebelumnya ada satgas 115 yang bertanggungjawab untuk mengordinasikan seluruh
kewenangan yang dimiliki masing-masing instansi terkait dengan pengawasan
sumber daya kelautan di Indonesia, fungsinya sama dengan Bakamla. Sayangnya,
fungsi koordinasi di antara instansi itu lemah, sehingga berimbas pada
berkurangnya aktivitas pengawasan laut.
Kelima,
anggaran yang dikurangi. Hal yang tak aklaah berpengaruhnya adalah anggaran
pengawasan yang tidak konsisten dari tahun ke tahun. Di tahun-tahun politik
seringkali anggaran pengawasan diahlikan untuk kepentingan-kepentingan yang tak
urgen. Padahal, kedua unsur tersebut merupakan syarat utama dalam menjaga
kedaulatan laut Indonesia.
Keenam,
adanya back-up militer di dalam setiap operasional kapal penangkap ikan negara
tetangga pun menjadi alasan lain yang membuat kapal ikan asing semakin berani
memasuki wilayah peraian Indonesi adan mencuri ikan disana.
Potret
buruk pertahanan wilayah perairan dan kelautan di Indonesia setidaknya
disebabkan oleh enam faktor di atas. Bahwa kita belum mampu menciptakan tenaga
kerja yang ahli dan profesional di bidangnya, kita tidak kekurangan dari segi
kuantitas tapi dari segi kualitas. Motivasi sebagai suatu pendorong agar
seseorang mampu melakukan sesuatu dengan bersungguh-sungguh, sayangnya motivasi
ini belum hadir dalam pengawasan perairan dan kelautan di Indonesia. Kemudian, dari sistem yang
selama ini dijalankan. Sebuah sistem akan berjalan dengan baik apabila ada koordinasi
yang solid di dalamnya, sistem pengawasan prairan dan kelautan selama ini tidak
konsisten dan cenderung ingin mengungguli diantara sesama lembaga pengawas.
Refleksi
59 tahun sejak ditetapkannya 15 januari 1962 oleh Ir. Soekarno sebagai Hari Dharma
Samudera. Bagaimana langkah pemerintah kedepannya untuk menjadikan wilayah
perairan dan kelautan menjadi salah satu komoditas perbaikan ekonomi di tengah
Pandemi Covid 19 saat ini serta perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran bagi
seluruh masyarakat Indonsei adi masa yang akan datang. Sayangnya, hal tersebut
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dari tahun ke tahun, rezim
berganti rezim masalah korupsi tak ernah usai di negara kita. ia bertambah
subur dippuk oleh ego para aparatur negara untuk memperkaya diri sendiri.
korupsi tak pernah pilih-pilih dalam mencari mangsanya, mana yang ada di depan
mata langsung dilahapnya.
Penulis
tidak akan membahas lebih jauh mengenai kasus korupsi impor benih lopster yang
sempat menjadi perbincangan hangat di tengah-tengah masyarakat. tapi, lebih
kepada bagaimana upaya yang bisa kita laukan secara bersama-sama untuk menjga
dan mengelola kekayaan laut di negeri kita. masuknya kapal-kapal asing ke
perairan Indonesia bukan hanya karena mereka memiliki alat yang canggih, tapi
juga dipengaruhi oleh politik di baliknya. Indonesia sebagai negara berkembang
pasti memiliki hutang luar begeri bahkan kerjasama dengan negara di luar Asia
sekalipun. Bisa saja ini merupakan sebuah toleransi yang sengaja diberikan oleh
bangsa kita sebagai bentuk ketidakmampuan melunasi hutanng-hutang luar b=negeri
atau politik balas budi. Negara menggadaikan sumber daya yang mampu mendongkrak
perekonomian kita semakin membaik kedepannya.
Jadi,
peringatan Hari Dharma Samudera 2021 ini bukan sekadar untuk kembali mengingat
sejarah yang begitu heroic di masa silam tapi bagaimana kit amemperkokoh
pertahanan di daerah yang menjadi kedaulatan bangsa ini. jangan sampai terlepas
walaupun negara tetangga memintanya sedikit saja karena dalam politik ini
adalah sebuah strategi perang yang diperhalus dengan cara mempengaruhi persepsi
seseorang. Bersikap santai dan berkata tidak perlu dibesar-besarkan seharusnya
kata-kata itu tidak pantas disampaikan kepublik. Karena masyarakat butuh
kehadiran pemerintah untuk membantu kesejahteraan mereka khususnya yang tinggal
di perairan dan laut Indonesia yang menjadi tempat pencurian ikan terbanyak.
Masyarakat tidak akan berdaya jika harus melawan mereka yang bersenjata lengkap
dengan kapal kapal nan gagah. Ini merupakan tugas kita bersama, pemerintah
dengan segala kekuasaan yang dimiliki diharapkan untuk lebih serius lagi dalam
menanggapi persoalan serupa, jangan bersantai-santai seakan-akan besok mereka
tidak akan menyerang bisa saja ketika kita terlelap perairan dan kelautan kita
diserang oleh negara-negara yang memiliki power besar.